Hai sobat, bagaimana kabar hari-harimu ? tentu saja menyenangkan bukan. Pada artikel kali ini saya akan membahas mengenai MALIOBORO " Cinderamata Kota Yogyakarta ". Langsung aja deh sobat simak artikelnya.
Malioboro itu berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti Karangan Bunga, Malioboro menjadi kembang yang pesonanya mampu menarik wisatawan. Tak hanya sarat kisah dan kenangan, tapi Malioboro pun sebagai Cinderamata di Jantung Kota Yogyakarta.
Jalan Malioboro adalah nama salah
satu kawasan jalan dari tiga jalan di Kota Yogyakarta yang membentang dari Tugu
Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta. Secara keseluruhan
terdiri dari Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro, dan Jalan Margo Mulyo. Jalan
ini merupakan poros Garis Imajiner Kraton Yogyakarta.
Malioboro itu berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti Karangan Bunga, Malioboro menjadi kembang yang pesonanya mampu menarik wisatawan. Tak hanya sarat kisah dan kenangan, tapi Malioboro pun sebagai Cinderamata di Jantung Kota Yogyakarta.
Jalan Malioboro adalah nama salah satu kawasan jalan dari tiga jalan di Kota Yogyakarta yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta. Secara keseluruhan terdiri dari Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro, dan Jalan Margo Mulyo. Jalan ini merupakan poros Garis Imajiner Kraton Yogyakarta.
Tepatnya pada tanggal 20 Desember
2013, pukul 10.30 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X nama dua ruas jalan
Malioboro dikembalikan ke nama aslinya, Jalan Pangeran Mangkubumi menjadi jalan
Margo Utomo, dan Jalan Jenderal Achmad Yani menjadi jalan Margo Mulyo. Terdapat
beberapa objek bersejarah di kawasan tiga jalan ini antara lain Tugu
Yogyakarta, Stasiun Tugu, Gedung Agung, Pasar Beringharjo, Benteng Vredeburg,
dan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret.
Jalan Malioboro sangat terkenal
dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan khas Jogja dan
warung-warung lesehan di malam hari yang menjual makanan gudeg Jogja serta
terkenal sebagai tempat berkumpulnya para seniman yang sering mengekpresikan
kemampuan mereka seperti bermain musik, melukis, hapening art, pantomim, dan
lain-lain di sepanjang jalan ini.
Pentas musik di Malioboro
Dilihat kebelakang, dahulu
Malioboro hanyalah ruas jalan yang sepi dengan pohon asam tumbuh di kanan dan
kirinya. Jalan ini hanya dilewati oleh masyarakat yang hendak ke Keraton atau
kompleks kawasan Indische pertama di Jogja seperti Loji Besar (Benteng
Vredeburg), Loji Kecil (kawasan di sebelah Gedung Agung), Loji Kebon (Gedung
Agung), maupun Loji Setan. Namun keberadaan Pasar Gede atau Pasar Beringharjo
di sisi selatan serta adanya permukiman etnis Tionghoa di daerah Ketandan
lambat laun mendongkrak perekonomian di kawasan tersebut. Kelompok Tionghoa
menjadikan Malioboro sebagai kanal bisnisnya, sehingga kawasan perdagangan yang
awalnya berpusat di Beringharjo dan Pecinan akhirnya meluas ke arah utara
hingga Stasiun Tugu.
Semakin berkembangnya Malioboro
dengan sangat pesat, hal ini menjadkan pusat perdagangan dan pusat belanja,
seorang kawan berujar bahwa Malioboro merupakan baby talk dari "mari yok
borong". Di Malioboro Anda bisa memborong aneka barang yang diinginkan
mulai dari pernik cantik, cinderamata unik, batik klasik, emas dan permata
hingga peralatan rumah tangga. Bagi penggemar cinderamata, Malioboro menjadi
surga perburuan yang asyik. Berjalan kaki di bahu jalan sambil menawar aneka
barang yang dijual oleh pedagang kaki lima akan menjadi pengalaman tersendiri.
Aneka cinderamata buatan lokal seperti batik, hiasan rotan, perak, kerajinan
bambu, wayang kulit, blangkon, miniatur kendaraan tradisional, asesoris, hingga
gantungan kunci semua bisa ditemukan dengan mudah. Jika pandai menawar,
barang-barang tersebut bisa dibawa pulang dengan harga yang terbilang murah.
Selain menjadi pusat perdagangan,
jalan yang merupakan bagian dari sumbu imajiner yang menghubungkan Pantai
Parangtritis, Panggung Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu, dan Gunung Merapi ini
pernah menjadi sarang serta panggung pertunjukan para seniman Malioboro
pimpinan Umbu Landu Paranggi. Dari mereka pulalah budaya duduk lesehan di
trotoar dipopulerkan yang akhirnya mengakar dan sangat identik dengan
Malioboro. Menikmati makan malam yang romantis di warung lesehan sembari
mendengarkan pengamen jalanan mendendangkan lagu "Yogyakarta" milik
Kla Project akan menjadi pengalaman yang sangat membekas di hati.
Malioboro adalah rangkaian
sejarah, kisah, dan kenangan yang saling berkelindan di tiap benak orang yang
pernah menyambanginya. Pesona jalan ini tak pernah pudar oleh jaman. Eksotisme
Malioboro terus berpendar hingga kini dan menginspirasi banyak orang, serta
memaksa mereka untuk terus kembali ke Yogyakarta. Seperti kalimat awal yang ada
dalam sajak Melodia karya Umbu Landu Paranggi "Cintalah yang membuat
diriku betah sesekali bertahan", kenangan dan kecintaan banyak orang
terhadap Malioboro lah yang membuat ruas jalan ini terus bertahan hingga kini.
Terima kasih sobat sudah meluangkan waktunya untuk membaca artikel mengenai Jln. MALIOBORO " Cinderamata Kota Yogyakarta ". Semoga bermanfa'at.
Pentas musik di Malioboro |
Selain menjadi pusat perdagangan,
jalan yang merupakan bagian dari sumbu imajiner yang menghubungkan Pantai
Parangtritis, Panggung Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu, dan Gunung Merapi ini
pernah menjadi sarang serta panggung pertunjukan para seniman Malioboro
pimpinan Umbu Landu Paranggi. Dari mereka pulalah budaya duduk lesehan di
trotoar dipopulerkan yang akhirnya mengakar dan sangat identik dengan
Malioboro. Menikmati makan malam yang romantis di warung lesehan sembari
mendengarkan pengamen jalanan mendendangkan lagu "Yogyakarta" milik
Kla Project akan menjadi pengalaman yang sangat membekas di hati.
Malioboro adalah rangkaian sejarah, kisah, dan kenangan yang saling berkelindan di tiap benak orang yang pernah menyambanginya. Pesona jalan ini tak pernah pudar oleh jaman. Eksotisme Malioboro terus berpendar hingga kini dan menginspirasi banyak orang, serta memaksa mereka untuk terus kembali ke Yogyakarta. Seperti kalimat awal yang ada dalam sajak Melodia karya Umbu Landu Paranggi "Cintalah yang membuat diriku betah sesekali bertahan", kenangan dan kecintaan banyak orang terhadap Malioboro lah yang membuat ruas jalan ini terus bertahan hingga kini.
Terima kasih sobat sudah meluangkan waktunya untuk membaca artikel mengenai Jln. MALIOBORO " Cinderamata Kota Yogyakarta ". Semoga bermanfa'at.